Saturday, December 11, 2010

Berebut Cinta dengan Bandar Narkoba (Kisah Pilu Ronny Pattinasarany)

image
MASYARAKAT Indonesia mengenalnya sebagai salah satu
pemain terbaik yang pernah dimiliki Persatuan Sepakbola
Seluruh Indonesia (PSSI). Ronny Pattinasarany mengawali
kariernya sebagai pemain sepakbola pada 1970 saat ter-
pilih sebagai anggota tim PSSI Yunior ke Manila.
Laki-laki kelahiran Makassar, 9 Februari 1949 ini
sebelum menjadi pemain profesional, sempat dibesarkan
di PSM Yunior. Dia hampir selalu dipercaya menjadi anggo-
ta tim nasional selama kurun waktu 1979-1985. Ronny
adalah pemain All Star Asia, olahragawan terbaik Indo-
nesia. Medali perak SEA Games pernah dia sumbangkan
untuk Tim Merah Putih.

Dari sepakbola, Ronny mendapatkan segalanya,
termasuk uang. Menikah dengan Stella Maria, pasangan
ini dikaruniai tiga orang anak (dua laki-laki dan satu pe-
rempuan), masing-masing Robenno Pattrick (Benny), Hen-
ry Jacques (Yerry), dan Tresita Diana.
Namun, di balik kesuksesannya di dunia persepak-
bolaan, Ronny memiliki kenangan buruk tersendiri me-
nyangkut dua anak laki-lakinya. Kesibukannya mengurus
sepakbola membuat waktunya untuk keluarga berkurang.
Akibat kurang perhatian, kedua putranya pun terlibat
penyalahgunaan obat-obatan terlarang. Mereka kecan-
duan narkoba mulai dari yang ringan hingga yang paling
berat (putau).

Adalah putra kedua Ronny, Henry Jacques (Yerry),
yang pertama kali kecanduan narkoba. Yerry mengenal
dan mengakrabi barang haram itu (putau) saat masih du-
duk di kelas satu SMP. Ketika itu Ronny berdomisili di Gre-
sik, karena tugasnya sebagai pelatih Petrokimia Gresik.
Atas saran para sahabatnya, Ronny membawa Yerry
ke dokter tenar di bidang rehabilitasi kecanduan narkotika
di Jakarta. Dokter Al Bachri Husin dan Prof. dr. Dadang
Hawari menjadi pilihan Ronny. Hasilnya lumayan memu-
askan, Yerry tidak sakaw lagi.
Namun, kisah Ronny melawan narkotika tidak ber-
henti sampai di situ. Beberapa bulan kemudian, Yerry kam-
buh. Kenyataan ini membuat batin Ronny benar-benar
terpukul. Dia merasa bahwa Yerry tidak akan sembuh jika
dia tidak mendampinginya.

Tahun 1985, disebut Ronny, sebagai tahun bagi diri-
nya untuk melawan narkoba. Pada tahun itu, dia meng-
ambil keputusan yang sangat berat dalam perjalanan kari-
ernya sebagai pemain dan pelatih sepakbola. "Saya diha-
dapkan pada dua pilihan yang sangat sulit, sepakbola atau
menyelamatkan anak. Saya pun akhirnya memutuskan
untuk meninggalkan sepakbola, kembali ke Jakarta meski-
pun pada saat itu saya tidak tahu apa yang harus saya
lakukan," ungkap Ronny.
Keputusan seperti itu tentu saja mengejutkan sang
istri, Stella. "Saya benar-benar kaget dan tidak siap meng-
hadapi peristiwa seperti itu," katanya.
Ronny menguatkan sang istri agar tegar menghadapi
cobaan ini. "Mama juga jangan malu. Ini musibah. Mungkin
kita sedang ditegur Tuhan," kata Ronny kepada Stella. Selama
berkarier di sepakbola, Ronny mengaku jauh dari Tuhan.
Ternyata, menurut pengakuan Yerry, dia sudah me-
ngenal narkoba sejak masih di kelas enam SD dari seorang
penjual minuman ringan yang membuka warung di depan
sekolahnya.

Nipam adalah jenis narkoba yang pada mulanya di-
perkenalkan kepada Yerry. "Kalau kamu pakai ini akan
membuat kamu lebih happy, bahagia," kata Yerry meniru-
kan ucapan sang penjaja minuman.
Diberikan secara cuma-cuma, Yerry menerima begitu
saja "barang haram" tersebut. "Awalnya saya memang
tidak tahu. Setelah itu saya diberi ganja, pil BK, ecstasy,
dan putau," ujar Yerry. Narkoba yang pada mulanya di-
berikan secara gratis itu akhirnya harus ditebus dengan
cara membeli manakala Yerry mulai ketagihan.
Ketergantungan Yerry kepada narkoba semakin kuat.
Ronny semakin terpukul, apalagi kalau melihat Yerry sedang
sakaw (ingin mengonsumsi narkoba). "Kalau tengah malam
dia sakaw, dan saya tidak punya uang, saya peluk dia sema-
laman. Paginya saya cari pinjaman untuk beli narkoba."
Ronny memang sering tidak tega. Saat Yerry sudah
tidak kuat, Ronny bahkan mengantarkan anak tercintanya
itu ke bandar narkoba untuk mendapatkan barang berba-
haya itu. "Pa.... Yerry nggak kuat," rintih Yerry saat barang
itu sudah ada di tangan Ronny dan tidak tahan untuk se-
gera mengonsumsinya.

"Tahan ya Yer, paling sepuluh menit lagi," jawab
Ronny yang berharap agar Yerry menikmati narkoba itu
di rumah. Tidak tega melihat anaknya terus merintih,
Ronny akhirnya membiarkan Yerry mengonsumsi putau
di tengah perjalanan.
Ronny tidak punya pilihan lain. Perbedaan antara
rasa kasih sayang terhadap anak dan mencelakakan anak
menjadi begitu sangat tipis. "Di satu sisi saya ingin mem-
bantu agar anak tidak kesakitan, tapi di sisi lain, pelan-
pelan saya sebenarnya membunuh anak saya sendiri. Ini
pilihan yang amat sulit. Tapi biarlah Tuhan yang tahu,"
kata Ronny dengan mata berkaca-kaca.
Ronny juga pernah harus menahan malu dan pedih
ketika dia dan Yerry diteriaki "mating" ketika datang ke
sekolah Yerry. Pasalnya teman-teman sekolah menuduh
Yerry mencuri uang salah seorang murid. Ronny yang pada
saat itu sedang menganggur, sering menjual barangnya
untuk membeli putau bagi anaknya. "Saya tidak tega me-
lihat anak-anak tersiksa. Saya sampai utang sana-sini untuk
membeli putau," papar Ronny.

Itulah cara yang diyakini Ronny bisa untuk mem-
bimbing Yerry kembali ke jalan yang benar. Tidak mudah
memang, sebab Yerry berkali-kali jatuh ke lubang yang
sama. Setelah "sembuh", godaan untuk memakai lagi be-
gitu kuat.
Karena ulah Yerry yang semakin sulit dikendalikan,
Ronny minta kepada anak pertamanya, Robennd Pattrick
(Benny) untuk menjaga sang adik. Belakangan, Benny ter-
nyata "setali tiga uang" dengan Yerry. Ketika duduk di
bangku SMP, Benny diam-diam juga sudah mengonsumsi
narkoba setelah teman-teman di sekolahnya menawarkan
zat berbahaya itu. "Pakai deh, pokokriya enak banget. Ka-
lau nggak pakai, kamu bukan anak gaul," begitu iming-
iming yang disampaikan teman-temannya kepada Benny.
Suatu ketika saat sakaw, Benny malah pernah minta
narkoba ke adiknya. Permintaannya ditolak Yerry. Dengan
berbagai cara, Benny membujuk Yerry. "Sudahlah jangan
khawatir. pokoknya beres. Papa pasti membantu membe-
rikan uang." kata Benny yang kemudian membuat Yerry
takluk.

Sejak itu, mereka pun mengonsumsi narkoba ber-
sama-sama. Benny mengibaratkan dirinya yang dipercaya
untuk menjaga Yerry sebagai "malaikat sekaligus iblis."
Benny malah lebih parah ketimbang adiknya, karena
memakai narkoba di luar rumah. Dia kerap tidak pulang
dan menginap di rumah bandar narkoba. Jika sakaw da-
tang, Yerry dan Benny selalu memaksa minta uang kepada
orangtuanya untuk membeli putau. Kalau tidak diberi,
mereka sering kali mencuri barang milik orangtuanya.
Karena suka mencuri, Benny dan Yerry sering diku-
cilkan oleh keluarga besar Ronny dan Stella. Itu diakui Yerry
dan Benny. "Pokoknya kunci dan model gembok apa saja
yang dipakai Mama untuk menyimpan uang, bisa kami                                                                             bongkar. Uang yang paling aman yang tidak bisa kami curi
adalah yang masih disimpan di kantong Mama," kata Benny.
Karena tidak ada uang, sementara mereka sedang
sakaw, suatu hari Benny dan Yerry nekat membuka garage
sale dengan menjual barang apa saja milik orangtuanya.
Saat itu Ronny dan Stella sedang ke luar kota. Medali olah-
raga, cincin kawin, barang antik milik Ronny dan Stella
mereka obral habis-habisan. Bahkan, "Rice cooker yang
masih ada nasinya kami jual," kata Benny.
Dari aksi "great sale" itu, mereka mendapatkan uang
"cuma" 5 juta. Setelah itu hampir sebulan mereka tidak
pulang. Benny dan Yerry waktu itu lebih sering tidur di
rumah bandar.

Ronny dan Stella juga kerap minta Tresita Diana,
adik Benny dan Yerry, untuk menjaga kakak-kakaknya. Tapi
Tresita malah jadi bulan-bulanan sang kakak. "Saya malah
dibentak-bentak dan diminta tinggal dirumah lalu dikunci
dari luar," katanya.
Diperlakukan seperti itu, Tresita bisa memahami, se-
bab bagaimanapun juga kakak-kakaknya sebenarnya
adalah orang baik. Mereka melakukan perbuatan seperti
itu, karena terpaksa. Situasi dan tuntutan untuk menetra-
lisasi kecanduan pada narkobalah yang membuat Benny
dan Yerry memperlakukan dirinya seperti itu. "Saya tahu,
kakak-kakak sebenarnya nggak having fun," katanya.
Apa yang dikatakan Tresita benar adanya. Yerry ber-
terus terang, "Saya nggak mau seperti itu (kecanduan nar-
koba)," katanya. Oleh sebab itu pada suatu hari, dia men-
coba bunuh diri dengan minum racun serangga. Dia mela-
kukannya diam-diam di kamar. Dia melakukan itu semua
dengan kesadaran penuh, "Sebab lebih baik saya tidak
ada di dunia ini daripada menyusahkan orang lain, ter-
utama Papa dan Mama," ujar Yerry.

Yerry pun sudah menyiapkan surat "wasiat" buat Ron-
ny Pattinasarany. Intinya, jauh lebih baik dia mati daripada
hidup tapi menyusahkan orang lain. "Kalau saya mati, ja-
ngan salahkan Mama," begitu antara lain isi surat Yerry.
Pagi hari, meskipun sudah menenggak racun serang-
ga, Yerry tetap terjaga. Dia merasa dirinya sudah mati dan
berada di dunia lain, namun yang aneh, mengapa posisi-
nya masih berada di dalam kamar. "Tuhan rupanya masih
menghendaki saya hidup," katanya.
Sang kakak, Benny, mengaku juga sudah frustrasi
dengan lembaran kehidupannya yang hitam. Dia menya-
dari berlari ke narkoba ternyata bukan solusi untuk me-
nyelesaikan masalah putus cinta sewaktu di kelas tiga SMA.
Ronny sendiri, meskipun beban yang ditanggung sa-
ngat berat, dia tidak mau menyalahkan anak-anaknya. Dia
tetap merawat putranya dengan penuh kasih dan cinta.
Saat mengantarkan anaknya membeli narkoba di
rumah bandar, dalam pikirannya sering dia berniat untuk
membunuh bandar narkoba. Namun saat niat buruk itu
datang, Tuhan menegurnya. "Ngapain ngurusin bandar,
jauh lebih baik ngurusin anak. Saya berusaha berebut kasih
sayang dengan bandar," katanya.

Ronny yang gemar bermain musik itu menyimpul-
kan musibah yang dia alami sebagai teguran dari Tuhan.
Selama berkarier di sepakbola, dia merasa jauh dari Tuhan.
Ronny lalu mulai memperbaiki kehidupan rohani-
nya. Suatu saat, dia dikenalkan dengan seorang pendeta                                                                                  oleh rekannya. Pendeta tersebut menjadi motivasi tersen-
diri bagi kedua anaknya untuk sembuh. Kasih sayang yang
diberikan kedua orangtuanya, dan petuah dari pendeta
membuat Yerry berangsur lepas dari jeratan narkoba. Ben-
ny pun akhirnya mengikuti jejak sang adik.
Perjuangan berat Ronny untuk melepaskan kedua
anaknya dari pengaruh narkoba membuatnya tergerak un-
tuk membagi pengalamannya pada orangtua yang meng-
alami masalah serupa. Bersama kedua anaknya, dia sering
menjadi pembicara dalam diskusi mengenai narkotika. Pe-
ngalaman Ronny itu bahkan telah dibukukan berjudul Dan,
Kedua Anakku Sembuh dari Ketergantungan Narkoba.
Ronny bercita-cita untuk memiliki yayasan yang khu-
sus memberikan bantuan kepada korban narkotika. "Orang
yang kecanduan narkotika jangan dimusuhi. Dia harus di-
sayangi agar bisa sembuh. Jika itu menimpa kepada anak
kita, bagaimanapun nakalnya mereka. kita tidak boleh
malu. Kewajiban orangtua untuk mengurus dan mendidik
anak, sebab mereka adalah titipan Tuhan," pesan Ronny.
Sayang memang, banyak orangtua yang lalai dalam
mendidik dan memperhatikan pergaulan anak-anaknya.
Veronica Colondam dalam bukunya Raising Drug-Free Chil-
dren mengungkapkan pihak yang paling akhir mengetahui
bahwa seseorang menjadi pecandu narkoba adalah orang-
tuanya sendiri. "Yang pertama kali mengetahui justru te-
man-temannya," ungkap Veronica.

Fakta tersebut diperoleh aktivis antinarkoba itu se-
telah dia melakukan penelitian terhadap lebih dari 600
pecandu narkoba. Dalam Kick Andy, Veronica mengung-
kapkan, para pecandu narkoba rata-rata berusia 15-24
tahun. Sebagian besar atau 6 dari 10 pecandu mengon-
sumsi narkoba di rumah sendiri.
Celakanya, masih menurut Veronica, banyak orang-
tua yang kemudian "cuci tangan" begitu mengetahui anak-
nya terlibat narkoba. "Mereka membayar dimuka ke pusat
rehabilitasi untuk merawat anaknya. Setelah itu mereka
pindah alamat," katanya.
Sebagian besar pecandu narkoba seperti halnya Yerry
dan Benny awalnya adalah coba-coba. Indarta dan Andi,
pemakai narkoba yang kini dalam proses rehabilitasi, juga
mengaku coba-coba. Oleh sebab itu, pesan Indarta yang
juga hadir dalam acara Kick Andy, "Jangan coba-coba!"
Ya, jangan coba-coba jika tidak mau mati. Simak
pengakuan Lido (nama samaran) yang dihadirkan di Kick
Andy. Dia adalah bandar narkoba yang kerap memasok
barang haram itu ke daerah-daerah, antara lain ke Lombok.
Setiap kali kirim seberat 1-2 kg. Dari sini dia memperoleh
keuntungan 5 juta rupiah.
Selain pemasok, dia juga pengguna. Berkali-kali poli-
si berusaha menangkapnya, tapi selalu lolos. "Pernah polisi
menembak saya sampai empat kali, tapi selalu tidak kena,"
katanya.

Dari mana dia mendapatkan narkoba? Jangan kaget,
racun maut itu diperoleh setelah mendapatkan informasi
dari kawan-kawan, juga dari polisi setelah mendapatkan
barang sitaan.
Seperti apa kualitas narkoba yang belakangan ini
dikonsumsi para pecandu? Lido menjelaskan, sejak tahun
1999, jenis-jenis narkoba itu sudah dicampur dengan un-
sur-unsur lain. Memberikan contoh, dia mengatakan, pu-                                                                                 tau sudah dicampur dengan tawas. "Kalau barang ini di-
suntikkan ke pemakai, pembuluh darahnya bisa pecah dan
pemakainya bisa langsung meninggal," katanya.
Sementara Benny yang kini bertobat mengingatkan
anak-anak muda untuk menghormati orangtua, seperti apa
pun keadaan mereka. "Saat kita menghadapi masalah,
teman-teman di geng tidak pernah membantu dan men-
dampingi kita. Yang selalu mendampingi kita adalah orang-
tua, bukan siapa-siapa," katanya.
Sejak tidak lagi menggunakan narkoba, Benny men-
jadi pemusik untuk lagu-lagu rohani. Dia mengaku telah
kehilangan banyak waktu dan kesempatan saat terbuai
oleh narkoba. "Saya kehilangan pergaulan, saya kehilangan
teman-teman. Itu suatu kehilangan bagi saya," kata Benny.
Sementara Yerry kini menjadi pelayan Tuhan setelah
mengikuti Sekolah Alkitab. Ia juga aktif membantu para
pecandu narkoba agar bisa sembuh.

Sebagai wujud menebus "dosa" terhadap kedua
orangtuanya, di akhir acara Kick Andy, Yerry dan Benny
membelikan cincin kawin untuk Ronny dan Stella. Yerry
dan Benny sadar cincin kawin yang mereka berikan kepada
orangtuanya pada acara itu—semahal apa pun—tidak
sebanding dengan pengorbanan yang diberikan oleh
orangtua mereka.
Ronny atas seizin Tuhan telah berhasil mempere-
butkan cinta dengan bandar narkoba atas kedua anaknya.
"Saya tidak rela kehilangan cinta kasih kepada anak-anak
saya," katanya.
Ronny Pattinasarany kini bisa bernapas lega karena
kedua anaknya benar-benar sembuh dari ketergantungan
Hadiah yang diberikan oleh kedua anaknya membuat Ronny terharu.
narkoba. Kini dentingan piano dan alunan lagu rohani ke-
rap bergema dari kediaman keluarga Ronny di kawasan
Rawasari, Jakarta Pusat. "Saya merindukan mereka men-
jadi anak-anak Tuhan," kata Ronny.

Salam Sansevieria
world of Sansevieria
Sansevieria Jaya
Sansevieria, Salam satu Jiwa

0 comments:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Post a Comment

Monggo dikomen gan! Blog ini Dofollow!